Senin, 23 Mei 2011

Workshop Pembuatan Laporan Keuangan untuk UMKM

Dari www.lintasdaerah.com

MAHASISWA dari Tim Accounting Project dan Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto mengadakan workshop kemarin.

Bertempat di gedung D Fakultas Ekonomi, kegiatan yang diberi judul “Workshop  Pembuatan Laporan Keuangan pada Kreditur Skala Kecil sebagai Tahap Awal Pencegahan Kejahatan Perbankan”  ini membahas tentang cara pembuatan laporan keuangan  untuk usaha kecil dan menengah untuk mencegah kejahatan perbankan.

Workshop diisi oleh Dr. Agus Raharjo, SH, M.Hum dosen sekaligus praktisi hukum dari Fakultas Hukum Unsoed yang menjelaskan tentang perkembangan kejahatan perbankan,terutama tentang debitur sebagai korban dan juga debitur sebagai pelaku kejahatan perbankan. Selain itu peserta juga diberikan pengetahuan tentang pengetahuan pajak dan akuntansi untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dari dosen Fakultas Ekonomi.

Peserta yang berjumlah sekitar 50 orang yang berasal dari pengusaha kecil dan menengah yang berdomisili di wilayah Purwokerto sangat antusias mendengarkan penjelasan-penjelasan dari setiap materi yang disampaikan. Dengan diadakannya workshop ini, diharapkan para pelaku UMKM tidak terjebak dengan produk kredit perbankan dan agar mereka dapat menyajikan laporan keuangan yang wajar sehingga mencerminkan keadaan riil usaha mereka.(melani)berita selengkapnya di lintasdaerah.com

Kejahatan Perbankan

Oleh Dr. Agus Raharjo, SH, M.Hum
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto)



KEJAHATAN PERBANKAN DAN PENANGGULANGANNYA[1]
Agus Raharjo[2]


A.     Pendahuluan
Peran bank dalam kegiatan ekonomi amatlah sentral, dan mengingat posisi yang demikian pembinaan dan pengawasan yang efektif terhadap setiap aktivitas perbankan sangat diperlukan.  Hal ini perlu dilakukan mengingat pembinaan dan pengawasan yang efektif yang didasari oleh gerak yang kokoh dari lembaga perbankan akan membuat perbankan Indonesia mampu bersaing di era global secara efisien, sehat, wajar, dan mampu melindungi dan menyalurkan dana masyarakat secara baik.
Bank sebagai lembaga ekonomi melakukan dua kegiatan pokok, yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.  Sebagai tempat perputaran uang, bank memiliki kedudukan yang rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan, baik oleh pihak bank sendiri maupun oleh pihak luar yang memanfaatkan bank sebagai tempat untuk menyembunyikan hasil kejahatannya.
Begitu banyak kegiatan perbankan yang rentan terhadap kejahatan, menyebabkan pihak bank harus tetap menerapkan salah satu prinsip dalam perbankan, yaitu prinsip kehati-hatian.  Salah satu tindak pidana yang dapat memanfaatkan bank sebagai tempat penyimpanan sekaligus lalu lintas transaksi keuangan adalah tindak pidana korupsi.  Setidaknya ada tiga ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan dan tindak pidana korupsi, yaitu UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan UU No. 15 Tahun 2002 jo 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.  Ketiga undang-undang itu saling berkelindan, mengingat hasil korupsi seringkali ditempatkan pada bank sebagai tempat untuk melakukan pencucian uang.  Makalah ini hanya akan memberikan gambaran umum mengenai kejahatan perbankan dan penanggulangannya. 
B.      Pengertian Tindak Pidana Perbankan
Berdasarkan Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kegiatan bank umum meliputi:
a.      menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b.      memberikan kredit;
c.       menerbitkan surat pengakuan utang;
d.      membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
1.      surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
2.      surat pengakuan hutang, dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3.      kertas perbendaharaan negara, dan surat jaminan pemerintah;
4.      Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5.      Obligasi;
6.      surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7.      instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
e.      memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
f.        menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g.      menerima pembayaran atas tagihan surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h.      menyediakan tempat untuk menyimpan barang, dan surat berharga;
i.        melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
j.        melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya adalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
k.       membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
l.        melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali amanat;
m.    menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
n.      melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Semua bentuk kegiatan di atas merupakan kegiatan perbankan dalam keadaan normal atau yang seharusnya dilakukan oleh bank.  Akan tetapi terdapat kegiatan perbankan memiliki motif tertentu sehingga melampaui atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.  Kegiatan semacam ini disebut tindak pidana perbankan. Tindak pidana perbankan yang dapat dilakukan dalam serangkaian kegiatan perbankan tersebut berkaitan dengan sistem keamanan dalam menjalankan setiap aktivitasnya.  Sistem keamanan tidak hanya menyangkut sumberdaya manusianya saja, akan tetapi juga infrastruktur yang sampai sekarang terus berkembang. 
Terdapat perbedaan penggunaan istilah dalam tindak pidana perbankan, misalnya kejahatan di bidang perbankan, kejahatan perbankan, kejahatan terhadap perbankan, dan tindak pidana perbankan.  Perbedaan istilah ini berkembang sampai kepada pengertian kejahatan perbankan.  Kejahatan perbankan bisa diartikan sebagai tindak pidana “di bidang perbankan” yang dalam pengertian ini mencakup segala perbuatan yang melanggar hukum yang ada kaitannya dengan bisnis perbankan. Dalam pengertian ini pula tercakup bank sebagai pelaku dan bank sebagai korban (Setiadi dan Yulia, 2010: 139).
UU No. 10 Tahun 1998 tidak merumuskan pengertian tentang tindak pidana perbankan.  UU ini hanya mengkategorikan beberapa perbuatan yang termasuk ke dalam kejahatan dan di satu pihak bisa dikategorikan sebagai suatu pelanggaran.  Akan tetapi ada juga yang memberdakan pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana di bidang perbankan.  Tindak pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank, baik bank sebagai sasaran maupun sebagai sarana, sedangkan tindak pidana perbankan (banking crime) merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh bank (Setiadi dan Yulia, 2010: 140).
Kejahatan di bidang perbankan adalah kejahatan apapun yang menyangkut perbankan, misalnya seseorang merampok bank adalah kejahatan di bidang perbankan, begitu pula pengalihan rekening secara tidak sah adalah kejahatan di bidang perbankan, jadi pengertiannya sangat luas.  Sedangkan kejahatan perbankan adalah bentuk perbuatan yang telah diciptakan oleh undang-undang perbankan yang merupakan larangan dan keharusan, misalnya larangan mendirikan bank gelap dan pembocoran rahasia bank.  Perbedaan isitlah ini menyebabkan atau berpengaruh terhadap penegakan hukum.  Kejahatan perbankan akan ditindak melalui ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang perbankan, sedangkan kejahatan di bidang perbankan ditindak melalui undang-undang di luar undang-undang perbankan (Setiadi dan Yulia, 2010: 140) .
C.   Korban dalam Tindak Pidana Perbankan
Korban – dalam suatu tindak pidana – merupakan pihak yang dirugikan atau mengalami penderitaan, yang disebabkan karena kepentingan hukumnya dilanggar oleh pelaku kejahatan.  Korban pada masa kini tidak selalu berkonotasi individu atau perorangan, akan tetapi dapat pula berupa kelompok orang atau massa, masyarakat, bahkan badan hukum atau korporasi.   Secara normatif, UU No. 13 Tahun 2006 memberikan batasan korban, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh tindak pidana.  Pengertian yang diberikan oleh undang-undang ini terlihat terlalu sempit jika dibandingkan dengan pengertian korban pada perundang-undangan lain, semisal UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi maupun PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Kepada Saksi dan Korban Pelanggar HAM Berat.  Kedua aturan itu membuat cakupan pengertian korban menjadi lebih luas, bukan hanya pengertiannya saja (termasuk ahli warisnya), akan tetapi juga tersimpul perlunya perlindungan hukum bagi korban.
Jika kita melihat korban dari sisi viktimisasinya, maka korban tindak pidana adalah mereka yang menjadi korban dari suatu tindak pidana.  Oleh karena pengertian dan ruang lingkup  tindak pidana sangat bergantung pada perumusan undang-undang, maka pengertian dan ruang lingkup korban pun juga tergantung pada perumusan undang-undang (Widiartana, 2009: 21).   Apabila kedudukan korban dikaitkan dengan sasaran tindakan pelaku, maka korban dapat dibedakan menjadi dua.  Pertama, korban langsung, yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan pelaku.  Kedua, korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa (Widiartana, 2009: 22).
Korban merupakan sasaran kejahatan yang dapat menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial.  Melindungi korban berarti menghindari timbulnya penderitaan atau memulihkan kondisi korban kepada keadaan semula atau setidak-tidaknya dapat menghilangkan trauma akibat kejahatan.  Gosita (2007: 173) menjelaskan bahwa perlindungan kepada korban ini juga berarti suatu usaha yang melindungi korban agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006, istilah perlindungan merupakan bentuk perbuatan untuk memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang membutuhkan sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya.  Pengertian ini sejalan dengan pengertian perlindungan yang terdapat pada PP No. 2 Tahun 2002 yang menentukan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pemberian perlindungan kepada korban didasarkan pada asas dan tujuan tersendiri sebagaimana dirumuskan dalam perundang-undangan.  Pasal 3 UU No. 13 Tahun 2006 menjelaskan mengenai asas-asas perlindungan saksi dan korban yang berlandaskan pada asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum.  Tujuan perlindungan saksi dan korban adalah memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Perlindungan hukum diberikan terhadap korban karena yang bersangkutan sesungguhnya mempunyai hak yang harus dilindungi dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Untuk menentukan seseorang atau korporasi menjadi korban atau tidak, perlu diketahui terlebih dahulu perbuatan seperti apakah yang disebut sebagai kejahatan atau tindak pidana.  Beberapa perbuatan pidana yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan perbankan dan telah diatur dalam perundang-undangan adalah:
1.   Dalam KUHP Buku II Bab X tentang Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas, yaitu Pasal 244, 245, 246, 249, dan 250.
2.   Dalam UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No 10 Tahun 1998
a.   Tindak pidana berkaitan dengan perizinan (Pasal 46)
b.   Tindak pidana berkaitan dengan rahasia bank (Pasal 47 dan 47a)
c.   Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan bank (Pasal 48)
d.   Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha bank (Pasal 49)
e.   Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi (Pasal 50)
f.    Tindak pidana berkaitan dengan pemegang saham (Pasal 50a).
3.   Tindak Pidana yang diatur dalam UU Tentang Bank Sentral.
Karakteristik dalam tindak pidana perbankan adalah bank bisa sebagai korban maupun sebagai pelaku.  Bank sebagai korban misalnya dalam hal penipuan, pemalsuan surat-surat bank, dan bank sebagai pelaku misalnya perbuatan window dressing, menetapkan suku bunga berlebihan, memberikan kartu kredit yang tidak wajar, menjalankan usaha bank dalam bank, menjalankan usaha bank tanpa ijin serta menjalankan usaha yang menyerupai bank.
Dalam hal bank sebagai korban, pada umumnya bisa dilihat pada KUHP pasal-pasal 263, 264 dan 378, sedangkan dalam hal bank sebagai pelaku, maka bisa dilihat pada undang-undang perbankan.  Modus operandi dalam hal bank sebagai korban tidak begitu banyak, biasanya hanya dalam bentuk pemalsuan dokumen, penggelapan dan korupsi, pelakunya biasanya orang, bukan korporasi.  Apabila pelakunya adalah bank (sebagai korporasi), modus operandinya bisa bermacam-macam.  Kejahatan ini dikategorikan sebagai criminal banking dan selalu dilakukan secara organized.  Dalam hal ini kegiatan perbankan hanyalah merupakan kamuflase karena seluruh kegiatannya adalah memang systemic violation of the law for the purposes of making a profit.  Anatomi criminal banking biasanya yang paling popular adalah money laundering dan window dressing (Setiadi dan Yulia, 2010: 143-144).
Berdasarkan penjelasan di atas, korban dan pelaku dalam tindak pidana perbankan bisa bank maupun seseorang ataupun badan hukum.  Persoalan yang kemudian mengemuka adalah apakah terhadap korban tindak pidana perbankan ini diberi perlindungan hukum oleh pemerintah dan sebaliknya.  Pertanyaan ini mengemuka mengingat kedudukan bank yang amat sentral dalam pembangunan.
C.      Penanggulangan Kejahatan Perbankan
Kejahatan atau tindak pidana merupakan perbuatan menimbulkan penderitaan, sehingga harus dicegah atau ditanggulangi.  Akan tetapi mencegah atau menanggulangi kejahatan tidaklah mudah atau disamakan begitu saja langkahnya untuk setiap kejahatan.  Kejahatan atau tindak pidana perbankan misalnya, tak bisa dicegah atau ditanggulangi dengan cara-cara biasa sebagaimana tindak pidana pada umumnya.
Kejahatan atau tindak pidana perbankan memiliki karakteristik yang khas, yang membedakan dengan tindak pidana lain, sehingga harus dicegah dan ditanggulangi dengan cara-cara yang khas pula.  Oleh karena keadaan yang seperti itu, maka kendala selalu muncul dalam upaya mencegah dan menanggulangi kejahatan perbankan.  Sitompul (2009: 4) mengidentifikasi beberapa kendala dalam penanganan tindak pidana perbankan, yaitu:
1.   Belum adanya kesamaan pandang tentang penggunaan dokumen fotokopi sebagai barang bukti dan dalam menetapkan undang-undang atau ketentuan yang dilanggar dalam tindak pidana bank;
2.   Tingkat pemahaman para penegak hukum terhadap kegiatan/operasional perbankan yang berbeda-beda dan belum merata serta lemahnya koordinasi dalam penanganan kasus perbankan;
3.   Belum efektifnya tindak lanjut penanganan kasus yang telah diserahkan oleh Bank Indonesia kepada penyidik;
4.   Terdapat beberapa kasus yang sulit diungkapkan modus operandinya yang antara lain disebabkan oleh pesatnya kemajuan atau perkembangan teknologi informasi.
Tentu saja kendala-kendala tersebut bukan hanya untuk direnungkan saja, akan tetapi perlu dicarikan solusinya, mengingat kendala yang dikemukakan Sitompul itu berada pada jajaran penegak hukum dari hulu sampai hilir.  Dari perundang-undangan yang mestinya dibuat fleksibel untuk menerima segala bentuk perkembangan baru dari teknologi untuk dijadikan barang bukti sampai kepada persidangan di pengadilan yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta ketegasan Bank Indonesia dalam memberi sanksi kepada bank yang melakukan kejahatan.
Sampai saat ini, sebenarnya Bank Indonesia sebagai salah satu pihak yang memberikan sanksi administrasi kepada perbankan yang melakukan tindak pidana telah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, misalnya dengan KPK, PPATK, Kepolisian dan pihak-pihak lainnya, termasuk perguruan tinggi.  Kerjasama itu dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya penelitian/ pengkajian data nasabah terpadu, pertukaran informasi dan bantuan konsultasi, bantuan personil, pelatihan dan sosialisasi, disediakannya pejabat penghubung, dan pemeriksaan khusus bersama BI-KPK pada bank umum dalam rangka penyelamatan keuangan negara.
Pencegahan dan penanggulangan tindak pidana dalam kerangka kebijakan kriminal dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu penal (penal policy) dan non penal (non penal policy).  Penal policy lebih ditekankan kepada upaya represif dari penegak hukum yang didahului dengan ketersediaan undang-undangnya.  Penal policy menjadi tugas polisi, jaksa,  hakim, dan tentunya Bank Indonesia dalam hal pelanggaran administrasi.  Sedangkan non-penal policy, menjadi tugas dari aparat penegak hukum, bank Indonesia, bank pemerintah maupun swasta dan masyarakat.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan sekadar terbatas pada upaya penal yang seringkali bersifat represif, akan tetapi akan lebih efektif jika dikaitkan langsung dengan karakteristik yang khas dari tindak pidana tersebut.  Misalnya, pada tindak pidana perbankan, ciri yang khas adalah pada perhitungan alur masuk dan keluar uang dari nasabah, dan ilmu yang tepat untuk mengetahui kewajaran atau ketidakwajaran atas alur ini adalah akuntansi.  Penilaian yang tepat dari ilmu ini akan mencegah secara lebih dini terjadinya tindak pidana perbankan.
Secara spesifik, Setiadi dan Yulia (2010: 145-146) menyebutkan bahwa dalam rangka penegakan hukum dan pencegahan kejahatan perbankan, maka langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:
1.   Perlunya peningkatan kemampuan penyidik dalam bidang akunting dan keuangan;
2.   Sistem pengawasan dari pihak bank yang efektif dan ini bisa dilakukan kalau rekruitmen pegawai lebih menekankan kepada mental idiologi;
3.   Perlunya kewenangan penyidik dalam rangka menjalankan tugasnya, bukan hanya sekadar menyangkut rahasia bank;
4.   Perlunya pembaharuan perundang-undangan dalam bidang ekonomi, in casu undang-undang perbankan.
D.   Simpulan
Bank sebagai lembaga keuangan memiliki kedudukan yang sentral dalam pembangunan.  Mengingat kedudukan yang demikian, pengawasan dan pembinaan secara efektif dan efisien perlu dilakukan agar perbankan Indonesia memiliki tingkat kesehatan yang baik sehingga dapat bersaing pada era global.  Kejahatan perbankan merupakan ancaman serius terhadap tingkat kesehatan bank dan sekaligus tingkat kepercayaan masyarakat, oleh karena itu upaya untuk mencegah dan menanggulanginya perlu dilakukan secara dini.  Kerjasama dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan perbankan perlu dilakukan, mengingat karakteristik yang khas pada kegiatan perbankan.  Pencegahan dan penanggulangan kejahatan perbankan tak dapat diserahkan hanya kepada salah satu pihak saja dalam penegakan hukum, sehingga bukan hanya penyebab kausatif atau simptomatik yang terselesaikan, akan tetapi penyebab yang bersifat komprehensif dapat di atasi secara bersama-sama.

Daftar Pustaka
Gosita, Arif. 2007. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), Edisi Keempat. Jakarta: Badan Penerbit FH UI;
Raharjo, Agus. Kegiatan Perbankan dalam Bingkai Tindak Pidana Korupsi. Makalah pada Dialog Interaktif yang diselenggarakan Bank Indonesia dengan FH Unsoed, Purwokerto, 29 Oktober 2009;
Setiadi, Edi dan Rena Yulia. 2010. Hukum Pidana Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu;
Sitompul, Zulkarnain. Peranan Bank Indonesia dalam Membantu Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.  Makalah pada Dialog Interaktif yang diselenggarakan Bank Indonesia dengan FH Unsoed, Purwokerto, 29 Oktober 2009;
Widiartana, G. 2009. Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.



[1]       Makalah disampaikan pada Workshop Pembuatan Laporan Keuangan, Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 29 April 2011.
[2]       Dosen FH UNSOED Purwokerto

Standar Akuntansi Internasional untuk UMKM (IFRS for SME)

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
IFRS untuk entitas kecil dan menengah (UKM) dimaksudkan untuk mengaplikasikan tujuan umum laporan keuangan entitas yang tidak dimemiliki akuntabilitas public atau yang sering kita sebut dengan Entitas Tanpa Akuntan Publik (ETAP). Di beberapa Negara, yang entitas tidak memiliki akuntabilitas public disarankan untuk memiliki keseragaman pelaporan, termasuk perusahaan perorangan dan entitas yang tidak mempublikasikan akuntabilitasnya.
Standar pelaporan keuangan global diaplikasikan secara konsisten, akan meningkatkan keterbandingan informasi keuangan. Perbedaan pelaporan dapat mengaburkan perbandingan yang digunakan oleh investor, penyandang dana dan pengguna lainnya. Syarat penyajian informasi keuangan yang bermanfaat (relevan, reliable,keterbandingan,dll) standar pelaporan keuangan global yang berkualitas meningkatkan efisiensi dari alokasi dan pengunaan modal. Keuntungannya tidak hanya bagi kreditor atau pemilik modal tapi juga menguntungkan bagi entitas yang membutuhkan modal karena akan mengurangi pengeluaran mereka dan mengalihkan resiko tidak pasti yang berakibat pada biaya modal. Standar global juga meningkatkan konsistensi dalam kualitas audit dan memudahkan pendidikan dan pelatihan.
Kelebihan standar pelaporan keuangan global tidak terbatas pada entitas yang terdaftar di pasar modal. Dalam penilaian IASB, SMEs-dan bagi mereka yang menggunakan laporan keuangan-mendapatkan keuntungan dari pengaturan umum standar akuntansi. Laporan keuangan ETAP berbeda dari satu Negara dengan Negara lain dengan alasan :
1.Intitusi keuangan membuat pinjaman antar Negara beroperasi secara multinasional. Dalam tataran hukum yang luas sebagian besar SMEs termasuk yang paling kecil memiliki pinjaman bank. Pihak bank mengandalakan laporan keuangan untuk membuat keputusan kredit, dan menetapkan jangka waktu serta tingkat bunga.
2.Supplier ingin mengevaluasi kondisi keuangan pembeli di berbagai Negara sebelum mereka menjual barang atau jasa secara kredit.
3.Banyak SMEs yang memiliki pemasok luar negri dan menggunakan menggunakan laporan keuangan pemasok untuk menilai prospek dari kelangsungan hubungan bisnis jangka panjang.
4.Lembaga peyedia modal menyediakan modal untuk SMEs di setiap Negara.
5.Banyak SMEs yang memiliki investor luar negri yang tidak terlibat dengan entitas manajemen setiap harinya.

B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan arrtikel “Accounting Advisory New, Switzerland” yang diterbitkan 09 September 2009, maka dapat mengambil beberapa poin rumusan masalah, yaitu :
1.Apakah pengukuran dengan metode current market value akan mempengaruhi besarnya pajak ?
2.Apakah penggunaan IFRS lebih praktis dibandingkan dengan SAK ETAP bagi UKM ?



BAB II
TELAAH PUSTAKA

A.Small and Medium Entyties atau Usaha Kecil Menengah
Small and Medium Entyties menurut IFRS for SMEs adalah :
a.perusahaan kecil dan menengah adalah perusahaan yang tidak memiliki akuntabilitas publik, dan
b.menerbitkan laporan keuangan tujuan umum untuk pengguna eksternal. Contoh
pengguna eksternal termasuk pemilik yang tidak terlibat dalam pengelolaan
bisnis, dan potensi yang ada kreditur, dan lembaga pemeringkat kredit.
Sebuah entitas memiliki akuntabilitas publik jika:
(a)utang atau instrumen ekuitas yang diperdagangkan di pasar umum atau dalam proses menerbitkan instrumen tersebut untuk diperdagangkan di pasar umum (Bursa efek dalam negeri atau asing atau pasar over-the-counter, termasuk pasar lokal dan regional), atau
(b) memegang aset dalam kapasitas fidusia bagi sekelompok orang luar yang luas sebagai salah satu bisnis utama. Hal ini biasanya terjadi bagi bank, serikat kredit perusahaan asuransi, broker sekuritas / dealer, reksa dana dan
bank investasi
Beberapa perusahaan juga dapat memegang aset dalam fiduciary untuk grup luas orang luar karena mereka memegang dan mengelola sumber daya keuangan yang dipercayakan kepada mereka oleh klien, pelanggan atau anggota tidak terlibat dalam manajemen entitas. Namun, jika mereka melakukannya untuk alasan yang terkait dengan bisnis utama (seperti, Misalnya, mungkin kasus untuk perjalanan atau agen real estat, sekolah, amal organisasi, perusahaan koperasi yang membutuhkan deposit keanggotaan nominal, dan penjual yang menerima pembayaran sebelum pengiriman barang atau jasa seperti perusahaan utilitas), yang tidak membuat mereka publik akuntabel.
Jika sebuah entitas publik akuntabel menggunakan IFRS ini, laporan keuangan tidak akan digambarkan sebagai sesuai dengan IFRS untuk UKM-bahkan jika hukum atau peraturan yang yurisdiksi izin atau membutuhkan ini IFRS untuk digunakan oleh publik akuntabel entitas.
Sebuah perusahaan anak yang perusahaan induknya menggunakan IFRSs penuh, atau yang merupakan bagian dari kelompok konsolidasi yang menggunakan IFRSs penuh, tidak dilarang menggunakan IFRS dalam perusahaan memiliki keuangan laporan jika anak dengan sendirinya tidak memiliki akuntabilitas publik. Jika perusahaan
laporan keuangan yang digambarkan sebagai menyesuaikan dengan IFRS untuk UKM, harus


B.IFRS for SMEs
1.Pengukuran.
IFRS for SMEs memiliki dua metode pengukuran atau measurement yang tercantum pada IFRS No.2 paragarf 34, sebagai berikut ;
“2. 34 Two common measurement bases are historical cost and fair value:
(a) For assets, historical cost is the amount of cash or cash equivalents paid or the fair value of the consideration given to acquire the asset at the time of its acquisition. For liabilities, historical cost is the amount of proceeds of cash or cash equivalents received or the fair value of non-cash assets received in exchange for the obligation at the time the obligation is incurred, or in some circumstances (for example, income tax) the amounts of cash or cash equivalents expected to be paid to settle the liability in the normal course of business. Amortised historical cost is the historical cost of an asset or liability plus or minus that portion of its historical cost previously recognised as expense or income.
(b) Fair value is the amount for which an asset could be exchanged, or a liability settled, between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.”

2.Pajak Penghasilan dan pengungkapannya
IFRS for SMEs No.29 menyatakan bahwa lingkup untuk pajak penghasilan adalah;
“29.1 pajak penghasilan mencakup semua pajak dalam negeri dan luar negeri yang berdasarkan laba kena pajak. pajak penghasilan juga termasuk pajak, seperti pemotongan pajak, yang harus dibayar oleh anak perusahaan, asosiasi atau joint venture pada distribusi bagi entitas pelaporan”

Pengungkapan atas pajak harus dilakukan oleh entitas sehingga memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi sifat dan dampak keuangan dari pajak kini dan tangguhan konsekuensi transaksi diakui dan acara lainnya. Ketentuan pengungkapan dalam IFRS for SMEs No. 29 paragraf 31, adalah sebagai berikut;

“29,31 entitas harus mengungkapkan secara terpisah komponen utama dari beban pajak (penghasilan). Komponen tersebut dari beban pajak (penghasilan) mungkin termasuk:
(A) beban pajak kini (penghasilan).
(B) penyesuaian yang diakui pada periode pajak kini periode sebelumnya.
(C) jumlah beban pajak tangguhan (penghasilan) yang berkaitan dengan originasi dan pembalikan dari beda.
(D) Beban pajak tangguhan (penghasilan) sehubungan dengan perubahan pajak
tarif atau pengenaan pajak baru.
(E) pengaruhnya terhadap beban pajak tangguhan yang timbul dari perubahan dalam pengaruh hasil yang mungkin dari tinjauan oleh otoritas pajak (lihat ayat 29,24).
(F) penyesuaian untuk beban pajak tangguhan yang timbul dari perubahan status pajak perusahaan tersebut atau para pemegang saham.
(G) perubahan dalam penyisihan penilaian (lihat ayat 29,21 dan 29,22).
(H) jumlah beban pajak sehubungan dengan perubahan kebijakan akuntansi dan
kesalahan (lihat Pasal 10 Kebijakan Akuntansi, Perkiraan dan Kesalahan).”